-->

Wanita Kerja

Wanita Kerja
Wanita Kerja
Secara tradisional, para akhwat biasanya diposisikan untuk mengurusi masalah domestik. Mengurusi rumah tangga, mendidik anak dan sejenisnya. Bisakah para akhwat melakukan peran - peran publik? Jawabannya, tentu bisa.
Ambil contoh, ‘Aisyah ummul mukminin. Beliau menjadi seorang penuntut ilmu pilihan, yaitu kepada suaminya sendiri (rasulullah saw). Mungkin ini terlihat sepele, tapi betapa banyak suami hebat dengan kapasitas mumpuni, namun istrinya enggan atau tidak mampu menyerap ilmu darinya.
Bergantian dengan madunya yg lain, ‘Aisyah ummul mukminin ikut menemani suaminya berperang di medan jihad maupun safar. Mungkin ini juga dianggap mudah. Padahal dimasa sekarang, para istri seringkali hanya mau menemani suaminya jika pergi untuk berwisata.
Selepas suaminya wafat, ‘Aisyah ummul mukminin sempat menjadi panglima perang. Yaitu saat menuntut darah atas terbunuhnya Utsman bin ‘Affan ra. Mungkin ini juga dianggap sebelah mata, karena beliau selalu berada diatas tandu. Padahal, panglima besar jendral Soedirman juga memimpin perang kemerdekaan dengan bergonta ganti tandu.
Semenjak peristiwa tahkim, ‘Aisyah ummul mukminin mengabdikan dirinya sebagai seorang ustadzah. Beliau menjadi salah satu rujukan utama dikalangan shahabat. Saat beliau mengoreksi pendapat salah seorang shahabat, tidak ada satupun yg berani membantahnya. Beliau juga satu diantara lima orang shahabat yg meriwayatkan hadits diatas 1.000 buah. Kali ini, perannya tidak bisa dianggap biasa. Karena majelis taklim akhwat dan ummahat biasanya lebih didominasi curhat dan cenderung kering dari ilmu.
Jika ada akhwat berani tampil sebagai instruktur senam, jangan dicibir atau dikomentari dengan nada sumbang. Ini sarana pembuktian bahwa instruktur senam tidak harus berbaju ketat dan bergerak erotis. Ini juga pembuktian bahwa menjadi akhwat tidak membatasi ruang berkarya dan berimprovisasi. Semuanya bisa dilakukan, dalam kerangka syar’i.
Advertisement